Topoda’a: Perotan Ulung yang Mahir Berburu

27 Agustus 2025


Penulis: Arman Seli


MEDIO Desember 2019. Terik matahari mengiringi perjalanan dari kota Palu menuju Tuva dan Omu. Desa yang berada di Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.

Tiba di kampung Omu, ada satu kios warga. Saya pun menanyakan keberadaan orang Da’a (Topoda’a) di kawasan itu.

“Orang Da’a di gunung situ dorang. Jauh itu,” kata pemilik kios sambil menunjuk pegunungan yang ada di sekitar desa Omu.

Walau informasi yang didapat sangat terbatas, kami harus mengucapkan terima kasih ke perempuan pemilik kios. Meskipun informasi belum jelas, jalan mana yang harus kita tempuh untuk ke lokasi.

Dataran tinggi itu diketahui tempat orang Da’a berladang. Namun harus mereka tinggalkan sementara waktu, karena tanahnya longsor saat terjadi gempa 28 September 2018 yang lalu.

Di tengah jalan, saya bertanya lagi ke seorang pemuda yang duduk di atas motor yang diparkir di pinggir jalan rumah Kepala Dusun 3 Desa Omu. Kepala desa sebelumnya sudah pernah berkomunikasi dengan saya.

Pemuda itu kemudian menunjukkan salah satu rumah yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kami berdiri.

Melalui Kepala Dusun, saya berhasil menemui Kose. Ia salah seorang warga yang mendiami Pegunungan Kondo.

Napui tana, nagero sou. Etumo kami no tua se’i!” Kata Kose menggunakan bahasa Da’a, “Tanah longsor, gubuk rusak. Itu alasan kami turun ke sini!”

Inta, warga setempat juga pernah bilang, di saat gempa, dirinya baru pulang dari Saluki membeli beras. Sampai di bukit, terjadi gempa. “Hampir jatuh beras yang saya pikul. Anakku jatuh dengan rumah. Bersyukur Tuhan selamatkan kami,” ujarnya.

Dua bulan setelah gempa, Inta dan yang lainnya bertahan hidup tanpa ada bantuan dari pihak manapun.

“Kami makan pisang, keladi dan jagung. Kami berterima kasih kepada Mama Susan, kami buat tenda di sini,” kata Inta.

Mama Susan adalah pengepul rotan sejak tahun 1998. Ia yang membantu mereka dan meminjamkan lahannya di desa Tuva untuk menjadi tempat pengungsian.

Orang Da’a adalah Perotan ulung

Orang Da’a sebelumnya mendiami Panasibaja. Sebuah desa di Marawola Barat, Sigi. Dalam satu kesempatan, Kose mengatakan bahwa dirinya adalah orang Da’a pertama yang mendiami Pegunungan Kondo.

“Saya pertama kali yang datang ke sini dan disusul oleh beberapa orang,” ungkap dia.

13 Juli 2019, dalam sebuah perbincangan, Kose menjelaskan jika dirinya pertama kali berada di tempat itu pada tahun 1998.

“Saya pertama membuka lahan di Kondo. Kemudian setelah itu datang Rudi, Nedu. Tahun 1997 saya di Saluki (Omu), 1998 saya membuka lahan di Kondo. Pertama merotan. Kemudian dilihat tanahnya subur, dibuka lahan. Saya tanam cokelat dan kopi,” ungkap Kose.

Menurutnya, di Saluki ada Mama Susan, pengepul rotan sehingga mempermudah mereka untuk menjual hasil yang didapatkan dari hutan.

Mendengar informasi dari Kose, beberapa orang Da’a yang lain menyusul dirinya. Sesuai data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng tahun 2020, ada 10 kepala keluarga Da’a yang menetap di Kondo: Kose, Nedu, Feli, Neta, Pinoli, Inta, Engki, Rudi, Dame dan Adeni.

Kose menjelaskan, di Kondo ada bata (rotan besar) yang terbagi atas dua, leli dan sumempu. Kemudian rotan yang berukuran kecil terbagi beberapa jenis. Ada nda mata, togisi, ntava laru, ronti, ape dan pesi.

Informasi lain dituturkan Rudi. Menurutnya, selain merotan mereka bisa membuat tikar dari naso (pandan hutan), vintu (gelang dari tali hutan) dan mencari ijuk yang mereka jual seharga 800 rupiah sampai 1.000 rupiah.

“Saya orang Panasibaja. Waktu merotan, kami sepakat pergi ke Pegunungan Kondo waktu itu dengan Nedu,” ungkap Rudi.

Mahir Berburu

Orang Da’a di Pegunungan Kondo mahir berburu. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun juga ikut berburu. Orang dewasa seringkali berburu babi, sementara anak-anak berburu burung.

Walaupun demikian, berburu tidak ada pembagian hewan tertentu bagi anak dan dewasa. Semua tergantung kemampuan yang bersangkutan.

Saat berburu babi, mereka akan membawa kanjai (tombak). Jika berburu burung, mereka menggunakan sopu (sumpit).

“Kalau berburu babi menggunakan tombak dan itu sering dilakukan oleh orang tua. Anak-anak biasanya berburu burung menggunakan sopu. Ada pula yang menggunakan katapel,” kata Nedu.

Berburu tidak setiap hari. Aktivitas ini dilakukan di waktu senggang atau ada kemauan ingin melakukannya.

“Hasil berburu untuk konsumsi sendiri,” singkat Nedu.

Hal utama yang mereka lakukan adalah berladang. Menanam ubi kayu atau singkong, keladi, rica (cabe), tomat, bawang merah, pisang. Hasil panen selain dijual, juga dikonsumsi sendiri.

ARTIKEL TERBARU

ARTIKEL TERKAIT