Toitou: Arca Menhir Minahasa, Penanda Jalur Migrasi yang Kini Terancam

18 September 2025


Penulis: Rikson Karundeng


ZAMAN megalitikum telah meninggalkan jejak-jejak mengagumkan masa lampau sejak 2500 tahun sebelum masehi. Di wilayah Nusantara, kebudayaan ini menyisakan menhir, punden berundak, dolmen, sarkofagus, kubur batu, waruga dan arca batu. Situs-situs menarik yang menggambarkan kosmologi dan cara hidup manusia di masa silam.

Di wilayah utara Selebes, hampir semua megalitik itu juga masih bisa ditemukan. Menyebar di wilayah adat Minahasa, Sulawesi Utara. Salah satunya, menhir.

Tanah adat Minahasa memiliki banyak menhir. Penanda awal berdirinya sebuah pemukiman baru. Namun ada jenis menhir yang unik, jumlahnya sangat sedikit, dan hanya berada di ‘jalur khusus’. Menhir yang yang diukir berbentuk manusia.

“Di Minahasa ada menhir, batu tunggal yang diukir berbentuk manusia atau arca menhir yang biasa kita kenal dengan watu toitou,” kata Hendra Mokorowu, 3 Januari 2022.

Penulis yang juga peneliti di Komunitas Penulis Mapatik ini menjelaskan, watu toitou menarik untuk dipelajari, penting didokumentasikan dan sangat perlu untuk dijaga serta dilestarikan.

“Jejak peradaban masa lampau yang menarik untuk dipelajari. Kenapa? Sebab ia hanya ada di tempat tertentu saja di Minahasa. Dalam pengetahuan orang Minahasa, ini penanda jalur migrasi leluhur tertentu di Minahasa,” tegasnya.

Arca Menhir Menyebar di Berbagai Belahan Dunia
Situs yang disebut menhir adalah batu tunggal. Biasanya berukuran besar, ditatah seperlunya, sehingga berbentuk tugu dan diletakkan berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir yang digunakan para ahli, diambil dari bahasa Keltik. Dari kata ‘men’ yang berarti batu dan ‘hir’ yang bermakna panjang. Jadi, mehir artinya batu panjang.

Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar di atas tanah. Tetapi pada beberapa tradisi juga ada yang diletakkan terlentang di tanah.

“Kalau di Minahasa, menhir ada yang berdiri sendiri atau hanya satu buah, ada juga yang berjejer beberapa buah batu,” kata Gerard Tiwow, penulis yang secara serius belajar tentang antropologi, 4 Januari 2022.

Menhir, bersama-sama dengan dolmen dan sarkofagus, adalah megalit. Para arkeolog menyebut, salah satu penciri utama budaya megalitik ini telah dibuat dan dikenal sejak periode neolitikum. Mulai 6000 sebelum masehi.

Beberapa menhir memiliki pahatan pada permukaannya, sehingga membentuk figur tertentu atau menampilkan pola-pola hiasan. Menhir semacam ini dikenal sebagai menhir arca atau statue menhir. Pada kebanyakan kebudayaan, tradisi pembuatan menhir telah berlalu, diganti dengan pembuatan bangunan. Namun demikian, di beberapa tempat, terutama di Nusantara, tradisi ini masih dilakukan hingga abad ke-20.

“Menurut penuturan orang tua dan ingatan masa lampau orang Minahasa, kemungkinan besar sudah tidak ada pembuatan watu toitou di abad sembilan belas. Dokumentasi tertulis masa itu juga tidak ada yang mencatat secara mendalam soal toitou. Rata-rata situs seperti ini memang berada di wilayah pemukiman tua yang telah berabad-abad ditinggalkan,” jelas Tiwow.

Lokasi penemuan menhir tercatat ada di Eropa, Timur Tengah, Afrika Barat, India, Korea, serta di wilayah Nusantara. Para arkeolog meneliti dan mendapatkan bahwa menhir digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan nenek moyang.

Watu Toitou di Minahasa
Di Minahasa, Sulawesi Utara, arca menhir lebih dikenal dengan nama toitow. Toitow adalah batu tegak yang berbentuk atau gambaran rupa seperti manusia. Melukiskan sosok seorang atau beberapa orang leluhur. Sebuah simbol penghubung antara manusia dan Sang Khalik.
Dalam masyarakat Minahasa dahulu, fungsi utama Toitow adalah perlambang leluhur.

“Pertama, simbolisasi keterhubungan dengan leluhur. Kedua, simbolisasi perlindungan dan penghormatan. Perlindungan dari para leluhur untuk anak keturunannya dan penghormatan anak keturunan terhadap para leluhur,” kata Rinto Taroreh, 9 Januari 2022.

Toitow di Minahasa ada yang terbuat dari kayu dan ada yang terbuat dari batu. Sayang, yang terbuat dari kayu telah lama hilang. Biasanya didirikan di ujung-ujung pemukiman sebagai simbol penjaga atau poteir.

“Selain itu, toitow juga ditaruh di depan kubur batu khas Minahasa yang disebut waruga. Sebagai simbolisasi dari leluhur yang ada di waruga itu,” tutur Taroreh.

Budayawan yang telah puluhan tahun menjadi penjaga dan pelestari berbagai situs peninggalan leluhur di Minahasa ini juga menjelaskan, toitow di ujung kampung biasanya berbentuk satu batu dan digambarkan dua orang. Bahkan ada yang penggambarannya sampai empat orang.

“Kalau terukir dua orang, itu terkait keseimbangan alam. Penanda dan pengingat bagi manusia untuk selalu menjaga hubungan dengan Sang Khalik, manusia dan makhluk hidup lain, serta alam, demi keseimbangan. Biasanya penanda keseimbangan ini menggambarkan ibu yang menggendong anak,” terang Taroreh.

Toitow merupakan simbolisasi leluhur, pelindung. Di daerah Kiawa, Minahasa Tengah, ada toitow poteir, simbol dari leluhur yang melindungi. Sementara toitow yang berdiri di dekat waruga, banyak terdapat di wilayah adat Tonsea, Minahasa Utara.

Batu ini tidak sembarang dibuat. Dalam keyakinan orang Minahasa, ketika dibuat, ada roh dari leluhur itu di situ sebagai penjaga. Karena itu, membuat toitow harus lebih dulu meminta untuk mendapatkan izin dari leluhur yang dikenal dengan Tantumoitow.

“Sesudah mendapat izin, untuk menerjemahkan wujudnya, ada figur yang disebut Tumetetaha’ atau yang memahat dan Rumerimper yang akan memperhalus bentuk toitouw itu,” terang Taroreh.

Dalam sejarah dan ingatan orang Minahasa, di masa lampau telah terjadi pembagian wilayah. Para leluhur duduk berunding di situs yang kini dikenal dengan ‘Watu Pinawetengan’. Mereka membagi wilayah awohan, wilayah untuk hidup dan dihidupi. Toitow diyakini mulai muncul sesudah masa pembagian di Watu Pinawetengan.

Penanda Khusus Sebuah Peradaban
Melihat jejaknya kini, para peneliti di Minahasa melihat ternyata situs toitow dalam bentuk batu, terdapat di jalur tertentu. Paling muda ada di wilayah Tonsea, Minahasa Utara. Situs-situs ini itu satu garis dengan yang berada di wilayah Tontemboan, Minahasa Tengah.

“Di daerah Tonsea, penggunaannya masih jelas. Toitow sebagai tanda pengganti Batu Tumani atau batu tempat pendirian kampung, simbolisasi penggambaran keluarga di waruga dan simbol pelindung. Misalnya yang terdapat di kawasan situs Kinangkoan dan di daerah Treman,” ujar Taroreh dan Tiwow.

“Dalam ingatan tou Minahasa, jejak toitou dibuat oleh para leluhur Minahasa yang datang dari pesisir Selatan Minahasa kini. Mereka kemudian bermigrasi mengikuti arah endo atau matahari, hingga ke wanua nondolan ni endo atau kampung tempat matahari terbit yaitu desa Kema,” jelas Tiwow.

Dahulu, Toitow juga merupakan alat tukar. Alat tukar itu dalam bentuk patung kayu yang dikenal masyarakat Minahasa dengan ‘teteles’.

“Artinya, alat tukar untuk membeli atau pengganti si sakit atau orang yang sedang sakit. Misalnya ada yang sakit, sakitnya yang akan diambil oleh patung itu. Itulah mengapa batu toitow sangat sakral bagi orang Minahasa,” papar Taroreh.

Batu Toitow sangat penting, terutama bagi tou Minahasa. Bukan hanya untuk dunia penelitian dan pendidikan, tapi bagi orang Minahasa ini adalah penanda peradaban. Paling awal mau menggambarkan rupa dari para orang tua, leluhur.

“Seperti makna foto hari ini, itu menggambarkan kasih sayang dan perlindungan. Para orang tua, leluhur, merekalah yang membesarkan kita, mereka yang menyayangi kita, jadi bagaimana keterhubungan ini tetap terpelihara. Antara para leluhur dengan dengan anak-cucu selanjutnya,” ucap Taroreh.

Di Minahasa, tradisi turun-temurun mengajarkan untuk harus saling mengingat. “Kata leluhur, ketika tidak berwujud, kadang terlupakan. Dengan adanya toitow, anak keturunan diingatkan selalu tentang pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan hidup, soal bagaimana seharusnya kita hidup dan melangkah dalam kehidupan,” tandas Taroreh.

Hendra Mokorowu dan Gerard Tiwow memberi catatan khusus. Dua pegiat budaya Minahasa ini berpendapat, watu toitou kini terancam keberadaannya.

“Watu toitou sangat penting, sangat berharga, namun rata-rata keberadaannya terancam. Ada yang terancam hancur karena terhimpit akar kayu, berada di tepi jurang, terendam air. Ada yang terancam karena target untuk dihancurkan orang-orang yang menstigma bahwa itu tempat penyembahan berhala. Buktinya, ada juga yang sudah dengan sengaja dihancurkan,” ungkap keduanya.

Perhatian semua pihak sangat penting demi menjaga harta berharga warisan leluhur. Bukti peradaban tou Minahasa ini bisa tetap lestari dan dinikmati anak keturunan Lumimuut-Toar selanjutnya.

“Masyarakat, pegiat budaya, pemerintah termasuk instansi terkait, harus bekerja sama untuk menjaga toitou. Apalagi masih sedikit catatan yang mendokumentasikan pengetahuan tentang warisan berharga ini. Sementara, rata-rata belum ditetapkan Balai Arkeologi sebagai benda cagar budaya,” kunci Mokorowu dan Tiwow.

ARTIKEL TERBARU

ARTIKEL TERKAIT